Iklan

Iklan

Power Syndrom Kembali Menajamkan Logic Mistik

Editor
6/09/20, 21:18 WIB Last Updated 2020-06-09T14:18:45Z


Bima. TaroaInfo.Com- Manusia merupakan mahluk pilihan Tuhan yang dilengkapi dengan akal untuk bernalar. Masyarakat Bima pada umumnya angkatan 90an sebagian besar sudah menempuh pendidikan sampai di Perguruan Tinggi dalam artian sudah mampu mendayagunakan akal rasionalnya untuk mengamati realitasnya, salah satunya pemilihan pemimpin.

Banyak kaum terpelajar yang masih sydrom dengan cerita-cerita mistik sehingga nalar akal budinya tertutupi oleh cerita-cerita dongeng para orang tua terdahulu tentang serba bisanya pemimpin zaman dulu pada fase kerajaan sampai dengan kesultanan, dan pada akhirnya diwarisi oleh anak-anak cucunya dalam pemahaman taklid buta keluarbiasaan diluar batas yang dimiliki oleh manusia lain.

Misalnya menurut cerita bahwa Pemimpin itu pada masa kekuasaannya bisa berada di tempat yang ia tuju menandingi kecepatan cahaya, bisa terbang, mempunyai mantra-mantra sehingga apa yang ia mau akan terjadi, dsb. Ini merupakan kebohongan yang diceritakan secara berulang-ulang oleh orang tua sehingga menjadi kebenaran bagi pendengarnya.

Apalagi yang mendengar cerita tersebut nalar pengetahuannya masih level bayani, tekstualistik-tidak mempertanyakan, mengimani tanpa mempertanyakannya. Sejatinya mendengar cerita tersebut harus diertanyakan sampai keakar-akarnya. Atas dasar kepentingan apa cerita tersebut disebarluaskan? Saya analisis kepentingan melanggengkan kekuasaan dan status qou bagi elit-elit disekitar lingkaran kekuasaan pada waktu itu. Dan aneh bin ajaib intelektual terjangkiti penyakit ini.

Kaum terpelajar suatu keharusan naik level burhani-pendayagunaan logika rasionalitasnya dalam menaggapi wacana-wacana yang berkembang di sekitar secara kontekstual daerahnya untuk memberikan  kesadaran bagi mereka yang masih level bayani, bersyukur kita mampu naik level pengetahuan diatas burhani yaitu irfani-ini dimiliki para wali dimana pengetahuan intuitif lebih dominan dimiliki mereka.

Abad 21 kepercayaan demikian (mistik dan cerita legenda ketokohan) suatu keharusan sirna ditelan zaman. Sebab saat ini abad milenial ilmu pengetahuan dan teknologi lebih utama, bukan mitos yang diandalkan. Mitologi akan sirna oleh logos. Seperti ungkapan Bloom dalam tingkatan pemahaman manusia harus sampai pada level enam: Pengetahuan-Pemahaman-Aplikasi-Analisis-Sintesis-evaluasi. Keenam tingkatan itu semestinya disingkronkan untuk memilah keontektikan cerita yang beredar.

Tidak jauh dalam produksi pengetahuan untuk melanggengkan logika mistik anak-anak dipertontonkan film yang karangan tentang pertarungan kerajaan-kerajaan memperebutkan kekuasaan dengan diluar pada nalar berpilkir seperti bisa terbang, mengeluarkan api ditelapak tangannya, bisa berupah kebentuk hewan buas, dsb.

Jacques Deridda menawarkan dekonstruksi. Segala hal yang disampaikan melalui bahasa diintepreatsikan melalui teks. Teks ini ada makna yang ingin disampaikan. Pesan makna ini baik melalui symbol atau tanda (hermenautik) ada maksud ingin dicapai oleh penyampai tanda. Baik ingin mendominasi atau mempengaruhi untuk mengikuti apa menjadi keinginan penyampai tanda. Bahasa pun berbagai interpreatasi mesti dikritisi. Disinilah kemudian bisa menelanjangi maksud penyampai bahasa-teks-simbol-tanda.

Pantaslah analisis Michel Foucoult tentang post-modern, bahwa kekuasaanlah yang menentukan pengetahuan “Power is Knowlegde”, bukan lagi seperti yang diuatarakan oleh Frasnsisco Bacon dalam menjemput masa pencerahan renaisans “Knowledge is Power”.

Suatu keharusan kaum terpelajar, pencerah yang tercerahkan, tidak mewarisi logika mistik yang disebarkan peninggalan zaman bahula. Merekalah terus produksi kebodohan sehingga akar rumput tetap berada di bawah, bodoh dibodohkan, tidak akan mampu naik level untuk merebut hak, selalu mengadah tangan pada Power Sydrom.

Semoga kita sadar dengan apa yang terjadi pada negeri ini, semoga pula mata, telinga, dan hati kita senantiasa kita pergunakan untuk melihat, mendengar dan merasakan jeritan dari rakyat yang tertindas karena haknya di rampas, sehingga pada akhirnya kita senantiasa memihakkan diri kita pada nasib mereka yang menjadi korban kerakusan manusia lalim.

Menutup tulisan ini penulis mengajak pembaca untuk mengingat dan merenungkan kembali pesan dari Imam Ali bin Abi Thalib bahwa “Penindas dan yang tertindas (tapi tidak melawan), sesungguhnya sama-sama menggunting keadilan”.

@Fathur, mahasiswa Pascasarjana UNY.(Tim.Taroainfo.com)
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Power Syndrom Kembali Menajamkan Logic Mistik

Terkini

Topik Populer

Iklan