Iklan

Iklan

DESCHOOLING SOCIETY: Education for Generation of Antroposophy

Editor
6/10/20, 19:55 WIB Last Updated 2020-06-10T12:55:33Z


“Bejalar sampai akhir hayat”

Bima. TaroaInfo.Com- Pendidikan jalan panjang untuk mengenal diri, alam, dan Penciptanya. Jejak langkah pendidikan untuk generasi tidak lepas pendayagunaan alat epistemology (panca indra) sebagai perantara masuk dunia imajinasi, intiusi. naluri, insting, intelektual, dan emosionalnya--pengolah akal, hati, mental rohani atau spiritualnya. Itu tidak lepas untuk menggapai generasi Antroposophy-spritualisasi sains seperti yang telah diungkapkan Rudolf Steiner (Jerman, 1861-1925).

Pendidikan yang mengabaikan selain dari intelektualitas-empiris-rasionalitas menjadikan generasi lembek nilai filosofis perjuangan dalam dinamika kehidupannya. Ia tidak lain genarasi satu dimensi. Mengabaikan kemampuan insting, imajinasi, naluri, dan ketajaman emosinya. Selain dari pengamatan mata, pendengaran, dan bisa ia raba bukanlah pengetahuan. Kalau David Hume (Skotlandia, 1711-1776) menyebutnya pengetahuan berdasarkan pengalaman.

Ali Syariati (Iran, 1933-1977) mengingatkan kepada kita, bahwa: “pengetahuan didahului oleh kesadaran merupakan pandangan idealisme teologis dan metafisis, jika pengetahuan empiris dijadikan satu-satunya pijakan kehidupan itu bersifat materialis, akan berimplikasi peradaban yang tidak mempunyai spirit dan kemajuan tanpa arah. Dan apabila pengetahuan tanpa cinta dan kesadaran maka akan menjadikan keyakinan tidak dipahami hanya taklid, ototarianistik”.

Cobalah merefleksi kemajuan Iptek, ilmu pengetahuan dan teknologi, yang hanya mengutamakan pengetahuan empiris, banyak hal direduksi kekayaan yang dimiliki oleh genarasi. Sampai-sampai buah dari persaingan intelegensia yaitu alat-alat modern selain memudahkan kehidupan manusia, ia mereduksi, keterasingan, bekerja mengeksploitasi alam lebih-lebih manusia penciptanya sendiri telah banyak kehilangan pekerjaannya. Banyak kita jumpai pada lembaga formal. Mendewakan hanya pada satu aspek, Empiris.

Abad XXI begitu pesat akan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak membantu kerja-kerja manusia, mesin-mesin diciptakan dengan perpaduan jaringan nir-kabel telah digunakan--Otomasi, penggunaan mesin canggih yang bisa dioperasi secara otomatis. Dampak negatifnya pengangguran secara berjamaah. Seperti makan buah simalakama, belajar akan terjadi persaingan besar-besaran untuk ekspoitasi alam dan manusia, dan tidak belajar akan menjadikan generasi terperosot dalam lingkaran setan. Tidak mampu mengenal kemampuan diri, alam, dan Pencipta.

Oleh karena itu suatu keharusan generasi mesti dibekali ketajaman imajinasi, intiusi. naluri, insting, intelektual, dan emosi sebagai bekalnya menjadi Antroposophy, manusia yang mampu menjadikan sains dalam semangat spiritualitasnya. Menciptakan sesuatu secukupnya, mengambil sesuai kebutuhan, dan merealisasikan keuntungan tidak terlepas kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran. Mencapai Kebahagiaan universal.

Antitesis dari permasalahan di atas yaitu menciptakan dunia Pendidikan tanpa sekolah atau biasa disebut Deschooling Sosiety. Mendidik generasi dengan trans-ilmu, supaya pengetahuan tak sekat-sekat, Antroposophy.

@Fathur, mahasiswa Pascasarjana UNY.(Tim. TaroaInfo.Com)
Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • DESCHOOLING SOCIETY: Education for Generation of Antroposophy

Terkini

Topik Populer

Iklan