Iklan

Iklan

Sekolah Mencetak Pintar, Bukan Berkarakter: Diagnosis Sistem Pendidikan Kita

Editor
12/19/25, 13:00 WIB Last Updated 2025-12-19T08:54:13Z



Oleh : Aas Asmaenah, Program Studi Managemen Pendidikan, Pascasarjana, Universitas Pamulang, Dosen Pengampu: Dr. Herdi Wisman Jaya, S.Pd., M.H.


Pendidikan nasional kita sedang menghadapi dilema fundamental. Setiap tahun ajaran baru, miliaran dana digelontorkan, kurikulum dirombak, dan fasilitas dibangun. Tujuannya satu: mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, di tengah hingar-bingar pencapaian akademik-nilai ujian yang tinggi, medali olimpiade sains, atau persentase kelulusan yang membanggakan-muncul sebuah pertanyaan mengganjal: Apakah sekolah kita benar-benar berhasil membentuk manusia seutuhnya?


Realitas di lapangan sering kali menunjukkan ironi. Kita menyaksikan tindak korupsi yang melibatkan para intelektual bergelar tinggi, perundungan siber yang dilakukan oleh remaja terdidik, hingga kurangnya empati sosial di tengah masyarakat urban. Fenomena ini mengindikasikan adanya disonansi antara kecerdasan kognitif (IQ) yang digenjot habis-habisan oleh sistem sekolah, dengan kecerdasan emosional dan spiritual (EQ dan SQ) yang terabaikan. Sekolah kita, secara tidak sadar, telah berevolusi menjadi pabrik pencetak "robot pintar" yang mahir menghafal rumus dan teori, namun minim karakter dan moralitas.


Paradigma "Nilai di Atas Segalanya"


Fokus berlebihan pada aspek kognitif berakar kuat pada budaya meritokrasi sempit yang dianut oleh sistem pendidikan kita. Pengukuran keberhasilan siswa dan guru sering kali didasarkan pada hasil angka-angka di rapor atau Ujian Nasional (meskipun formatnya berubah, esensinya tetap soal nilai). Akibatnya, proses pembelajaran di kelas menjadi sangat transaksional: guru mentransfer informasi, siswa menghafal, dan kemudian memuntahkannya kembali saat ujian.


Mata pelajaran budi pekerti, Pendidikan Pancasila, atau pendidikan agama sering kali menjadi mata pelajaran kelas dua, sekadar pelengkap jadwal yang materinya sering diabaikan demi mengejar target mata pelajaran "inti" seperti Matematika, Sains, atau Bahasa Inggris. Ruang untuk berdiskusi soal etika, berlatih kepemimpinan, atau mengasah kepekaan sosial menjadi sangat terbatas.


Karakter adalah Kompas Kehidupan


Pintar saja tidak cukup untuk menavigasi kompleksitas kehidupan modern. Kecerdasan ibarat mesin mobil yang bertenaga, tetapi karakter adalah kemudi dan remnya. Tanpa karakter yang kuat-integritas, tanggung jawab, empati, dan ketangguhan-kecerdasan hanya akan menjadi alat yang ampuh untuk tujuan yang salah, bahkan merugikan masyarakat.


Pendidikan karakter bukanlah sekadar hafalan butir-butir moral atau nasihat klise dari guru BP. Ia harus terintegrasi dalam setiap aspek pembelajaran, menjadi budaya sekolah yang hidup. Ketika seorang guru matematika mengajarkan kejujuran saat ujian, atau guru olahraga mengajarkan sportivitas, saat itulah pendidikan karakter terjadi secara otentik.


Tujuan mendesain Ulang Tujuan Pendidikan


Sudah saatnya kita melakukan diagnosis ulang terhadap tujuan fundamental sistem pendidikan kita. Kita perlu bergeser dari paradigma "sekolah untuk nilai" menuju "sekolah untuk kehidupan".


Beberapa langkah konkret dapat ditempuh:


1. Integrasi Holistik: Pendidikan karakter harus menjadi ruh dari semua mata pelajaran, bukan mata pelajaran terpisah.


2. Penilaian yang Komprehensif: Mengembangkan sistem evaluasi yang tidak hanya mengukur pengetahuan kognitif, tetapi juga keterampilan sosial, sikap, dan etos kerja siswa.


3. Peran Guru sebagai Teladan: Guru tidak hanya sebagai fasilitator ilmu, tetapi juga sebagai model peran (role model) moral dan etika.


Mencetak generasi yang pintar memang penting, tetapi mencetak generasi yang berkarakter adalah sebuah keharusan. Hanya dengan keseimbangan keduanya, kita dapat membangun peradaban yang madani, di mana individu tidak hanya sukses secara pribadi, tetapi juga berkontribusi positif bagi bangsa dan negara. Pendidikan yang seimbang adalah investasi terbaik untuk masa depan yang lebih bermartabat.


Daftar Pustaka 

Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books. (Buku klasik yang sering dijadikan rujukan dalam pendidikan karakter).


Goleman, Daniel. (1995). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. New York: Bantam Books. (Karya fundamental tentang pentingnya kecerdasan emosional).


Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (Biasanya merujuk pada dokumen kebijakan terkait Kurikulum dan arah pendidikan karakter di Indonesia, misalnya: Kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)).


Tilaar, H. A. R. (Beberapa karya beliau sering mengkritisi kebijakan pendidikan nasional). (Contoh: Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, atau artikel/jurnal relevan lainnya).


Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. (Berbagai artikel ilmiah yang diterbitkan oleh institusi akademik atau pemerintah yang mengulas efektivitas pendidikan karakter di Indonesia).


***

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Sekolah Mencetak Pintar, Bukan Berkarakter: Diagnosis Sistem Pendidikan Kita

Terkini

Topik Populer

Iklan