
Keadilan Sosial dan Kesejahteraan kolektif, Fakta Atau Slogan ?
Bima,Taroainfo.Com - Tujuan bentuknya Negara yakni untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan secara seksama sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi Negara republik Indonesia. Pembukaan UUD 1945 menjelaskan tentang pembentukan suatu Pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Berangkat dari dinamika percaturan politik yang penuh dengan kegaduhan dinegri ini, apakah mampu mewujudkan Tujuan idel terbentuknya Negara ? ataukah hanya memenjarakan teks ideal dalam lembaran konstitusi dan sekedar diagungkan secara semu ? ironis !!.
Dalam beberapa dekade mendatang ini Kabupaten Bima akan melaksanakan pesta Demokrasi. Yakni pemilihan kepala daerah (PILKADA), konfigurasi politik yang cukup memanas, seolah mencerminkan adanya misi terselubung selain mengupayakan tercapainya kesejahteraan kolektif.
Dengan demikian setelah Pilkada usai adakah jaminan kepala daerah yang terpilih akan menjadi kepala daerah untuk seluruh Rakyat kabupaten Bima dan tidak sekedar menjamin dan mementingkan kelompok tertentu atau timsesnya saja ? tragis !! lalu adakah ruang untuk mengupayakan tercapainya misi kolektif bangsa dengan kondisi yang demikian.
Setelah pesta demokrasi usai konspirasi dan kecurangan politik, serta saling hujat dan melontarkan ujaran kebencian, atas berbagai indikasi kepentingan tertentu. seolah tak mencerminkan adanya sikap dan prinsip untuk sama-sama mengabdikan ide dan gagasan untuk membangun bangsa dan Negara.
Ada semacam ketegangan dalam kancah perpolitikan dinegeri ini, yang membentuk hasyrat dan ambisi bejat para politisi. entahkah Regulasi dalam sistem Demokrasi yang salah, partai politik yang tak mengemban moral serta asas pengabdian atau kecendrungan para politisi untuk merebut kekuasaan yang telah menjadi candu.
Gagasan para oposisi termarginalkan oleh kurang permisifnya lembaga Negara, lalu kemudian bermuara pada kebijakan publik yang otoriter. Diresmikannya UU Ciptaker Model Omnibus Law, yang dalam proses pembahasanya tidak dilaksanakn berdasarkan prosesi permusyawaratan Rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, sangat mencerminkan tidak adanya sikap permisif lembaga kekuasaan Negara.
Bagaimanakah Nasib Bangsa ? dengan keadilan sosial dan kesejahteraan kolektif yang buram dan kabur,"(MR-01).