Iklan

Iklan

Perempuan, Negara dan Perjuangan Kelas

Editor
2/20/21, 21:23 WIB Last Updated 2021-02-20T13:27:28Z
Foto, Penulis : Wildan Ummairah.


BIMA,Taroainfo.Com -
Sudah berabad-abad, penindasan terhadap perempuan sudah menjadi ciri yang begitu esensial dari masyarakat berkelas. Melekat dalam kehidupan masyarakat sosial sebagai sebuah budaya yang sudah terkonstrusi secara sistematis, hingga membuat posisi perempuan selalu rentan mendapatkan berbagai bentuk penindasan; pelabelan, seksisme, pelecehan seksual, diskriminasi, kekerasan, intmidasi, poligami, dll. Beberapa periode kebangkitan gerakan kaum perempuan dalam menuntut kesetaraan ditingkat sosial, terjadi diberbagai negara. 


Kampanye-kampanye dalam melawan rasisme, hukum perkawinan, dan tempat-tempat dimana seksisme menunjukan bentuknya, terus didengungkan. Setelah Gerakan Perempuan Amerika berhasil mengguncang dunia pada 1920 dalam memperjuangkan hak secara politik, menjadi sebuah bukti bahwa kaum perempuan memiliki kesetaraan dengan kaum laki-laki dalam memperjuangkan hak. Pada 1980-an, gerakan pembebasan perempuan di negara-negara kapitalisme maju menjadi sebuah fenomena internasional, bahkan menyebar ke negara dunia ketiga. Namun, masih belum mampu membebaskan kaum perempuan dari belenggu penindasan, dan hal itu masih saja tetap berlajut hingga sekarang. 


Setelah terbentuknya pembagian kerja dan masyarakat berkelas, penindasan perempuan semakin mengubah bentuknya seiring kemajuan dari alat produksi kebutuhan hidup manusia. Yang pada awalnya, antara kaum perempuan dan laki-laki memiliki posisi, kewajiban dan hak asasi yang sama sebagai manusia yang (berotoritas) merdeka. Namun setelah tebentuknya masyarakat berkelas, posisi perempuan mulai terkikis dari alat produksi dan selalu di diskriminasikan dalam strata sosial. Mereka dijadikan budak pengumpul kekayaan, di perjualbelikan layaknya suatu barang dalam pasar tenaga kerja, menjadi media propaganda produk-produk kapitalisme, hingga sebagai alat untuk dominasi ekonomi dan politik elektorat.


Di Indonesia sendiri, stigma sosial dalam bentuk pelabelan dan seksisme masih sangat kental. Masih sangat sedikit orang yang memandang perempuan sebagai suatu makhluk yang memiliki potensi dan otoritas atas tubuhnya.


Bentuk pelabelan dan diskriminasi sering kali di alami oleh perempuan yang bertatto, perokok, penyanyi jalanan, wanita penghibur hingga pekerja seks komersial. Mereka tidak pernah bisa diterima sebagai wanita yang memiliki otoritas atas tubuh dan pikirannya. terutama di lingkungan sosial tingkat regional. Dianggap sebagai orang yang tidak bermoral, nakal dan kriminal (versi masyarakat berkelas). Pada dasarnya setiap manusia memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai individu/kelompok yang merdeka secara politik, tentu juga tidak pernah merampas hak politik orang lain. Namun, karena konstrukis sosial masyarakat berkelas lebih didominasi oleh kekuasaan (negara), maka apapun yang sudah ditentukan oleh negara bahwa itu adalah suatu hal yang salah dan tidak bermoral, maka tentu hegemoni negara tersebut akan selalu menyelimuti stigma sosial.


Dalam kondisi negara yang menganut sistem (produksi) kapitalisme, masih banyak kaum perempuan yang berprofesi sebagai buruh dalam ruang kerja industri mendapatkan berbagai tindakan diskriminasi dan subordinasi. Mereka selalu diposisikan dibawah kaum laki-laki, mendapatkan upah uang seringkali berbeda dengan kaum laki-laki. padahal pekerjaan mereka sama, Belum lagi berbagai tindakan kriminalisasi, intimidasi hingga PHK secara sepihak yang didapatkan oleh kondisi sakit, haid dan hamil. 


Tindakan-tindakan yang memanfaatkan tenaga buruh tersebut melahirkan aksi pemogokan dan protes. Disaat para buruh melakukan aksi protes dan pemogokan untuk menuntut upah layak dan pengurangan jam kerja (jam kerja tidak boleh lebih dari 8 jam), buruh perempuan selalu di intimidasi oleh pihak perusahaan; seperti pemotongan upah, tidak akan diberikan upah bulanan dan uang pesangon, hingga di PHK secara sepihak. Ada pula buruh perempuan yang di kriminalisasi haknya hanya karena menyampaikan aspirasi lewat mimbar, diseret kedalam penjara layaknya seorang kriminal kelas kakap. Sedangkan pihak perusahaan dan aparat kekuasaan (negara) yang merampas hak asasi manusia tidak pernah di adili oleh penegak hukum. 


Kebebasan berserikat, beraspirasi dan berekspresi dimuka umum sungguh tidak pernah ada bagi warga negara terkhususnya buruh perempuan. Pembungkaman hak demokrasi yang dilakukan oleh aparat kekuasan (negara) semata-mata untuk melindungi sampah-sampah (manusia) yang memberi mereka tumpangan kebutuhan hidup, tanpa mempertimbangkan hak asasi manusia dan keadilan sosial. Konstitusi dan hukum negara tentu sudah dijadikan sebagai tameng besi untuk melindungi orang kaya dalam mempertahankan kekuasaan dan hak kepemilikan pribadi.


Penegak hukum hanya berani menegakan supremasi hukum pada rakyat miskin, sedangkan bagi para pengusaha, pemilik korporasi, elit birokrat dan kapitalis tidak menentu karena mereka adalah dewa dibumi. Dewa yang menciptakan hukum sekaligus menjadi hukum dibumi.


Tidak ada alternatif lain yang bisa dilakukan oleh pejuang-pejuang kemanusiaan dan pro-demokrasi hari ini, kecuali membangun federasi hingga front persatuan nasional dari berbagai elemen-elemen buruh, mahasiswa, pelajar, pemuda, petani miskin, individu merdeka, hingga kaum feminis untuk membangun gerakan pembebasan. Tidak ada lagi yang harus diperdebatkan hanya karena perbedaan ideologi, ras, dan agama, melainkan saling bekerja kolektif dalam menghancurkan masyarakat berkelas dan kapitalisme. Sehingga mampu dalam usaha membangun satu kehidupan dengan strata sosial tanpa ada penindasan oleh manusia atas manusia lain, yaitu Masyarakat Sosialisme. 


Sebagai sebuah solusi Mengadakan pendidikan politik dan penyadaran terhadap rakyat (buruh dan petani) yang belum terorganisir agar mereka dapat terlibar dalam gerakan untuk pembebasan kaum perempuan. Bukan malah terlibat dalam pesta demokrasi (liberal) borjuasi yang pada akhirnya mengutamakan agenda elit birokrat dan neo-liberalisme, ketimbang merancang bagaimana memberikan keadilan sosial dan kesejahteraan untuk rakyat.


Tidak ada perjuangan revolusioner tanpa teori dan alat revolusioner, jika tidak semua itu hanyalah utopis. Karena dalam perjuangan kelas, semua kelas-kelas tertindas harus bertindak untuk meruntuhkan sistem yang timpang.


Penulis : Wildan Ummairah Mahasiswi kampus II STKIP taman Siswa Bima.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Perempuan, Negara dan Perjuangan Kelas

Terkini

Topik Populer

Iklan